Insane
APPS OPERA ISLAM ARTICLES AL-QUR'AN

"Ballighu Anni Walau Ayyah"

"Ballighu anni walau ayyah" (Al-Hadits)...“Sampaikanlah walau satu ayat,” itu hadits sahih, memang benar sekali. Tapi sampaikan kepada penerima yang tepat (yang memang membutuhkan), dan waktu yang tepat.

Kalau di hadapan jendela samping sebuah rumah kita taruh corong toa masjid dan kita bombardir dengan ceramah, pengajian dan zikir ‘kuenceng-kuenceng’ setiap pagi, siang atau sore tanpa henti dengan mengatasnamakan dakwah, bisa jadi sebenarnya kita justru menzalimi penghuni rumah. Lho kok..?

Karena siapa tahu di sana ada bayi sakit? Orang tua? Atau suami yang baru pulang kerja dan lelah, sehingga gangguan itu malah membuatnya sensitif dan marah-marah pada anak istrinya.

“Orang yang tidak lapar tentu tidak merasa butuh makanan. Orang yang merasa sehat, tentu tidak merasa butuh dokter. Orang yang merasa sudah tahu agama, tentu tidak merasa butuh belajar agama. Orang yang tidak merasa lapar (akan pengetahuan) tentang Allah, tentu tidak akan merasa butuh belajar tentang Allah.”

Selain itu, pada orang-orang yang memang telah menerima tugas dari Allah ta’ala ( mengenal diri dan misinya ) ada ruang lingkup dakwahnya sendiri, dan Allah sendiri yang menentukan.

Tidak semua para peraih kebenaran harus menjadi da’i dan tampil di depan ummat. Ada yang memang tugasnya menjadi Rasul alam semesta (Muhammad SAW), menjadi rasul bangsa tertentu saja (Musa, Isa as, dll), menjadi mursyid untuk orang tertentu saja, yang muridnya itulah yang justru harus menjadi nabi (Syu’aib as).

Ada yang harus menjadi panglima perang (Sa’ad bin Abi Waqqash, Khalid bin Walid). Ada yang harus menyampaikan khazanah ilahiah melalui puisi (Jalaluddin Rumi). Ada yang harus membuat buku (Al-Ghazali). Ada yang harus membuat buku dan menyampaikan ilmu ketuhanan yang rumit dan tidak untuk masyarakat biasa (Ibnu Arabi). Ada yang harus menjadi mursyid dengan penampilan mewah seperti sultan (Syaikh Abdul Qadir Jailani). Ada yang harus terlunta-lunta, sakit kulit seperti Nabi Ayyub as. Ada pula yang diciptakan untuk kaya raya dan berkuasa seperti Sulaiman a.s.

Banyak sekali ragam tugas dan kemisian, demi menyampaikan—dan menampilkan— suatu Khazanah Ilahiah. Justru jika seorang diciptakan sebagai, misalnya, panglima perang, namun ia malahan tampil di depan podium dan berdakwah dengan cara klasik, ia justru menyalahi kehendak Allah SWT bagi dirinya. Ia menyalahi tujuan penciptaannya.

Bukan berarti orang-orang ini tidak berdakwah. Tapi, apa bentuknya: bicara? berbuat? berfikir? menulis? menyumbang harta? memimpin? Allah yang menentukan.

Juga, ruang lingkupnya untuk siapa, untuk ummat-kah, bangsa tertentu kah, orang tertentu kah, atau cukup untuk keluarga, mungkin bahkan cukup hanya untuk dirinya sendiri.

Mungkin sahabat kadang melihat orang 'alim yang tidak secara terbuka menyampaikan dakwahnya. Demikianlah, yang terjadi sebenarnya mekanisme natural: bahwa makanan baru bermanfaat jika diberikan kepada orang yang memang lapar atau membutuhkan, jadi jangan kaget dan penasaran dengan hal itu, karena mungkin saja kita memang belum mengerti, atau belum merasa membutuhkan ajaran mereka.

Pernahkah kita berpikir, memberikan makanan kepada yang memang tidak membutuhkan. Bisa dianggurin sampai menjadi busuk, dibuang, atau bahkan membuat muntah yang bersangkutan. Padahal masih banyak sekali orang selain dia yang benar-benar membutuhkan makanan itu.

Setiap orang yang diberikan anugerah oleh ALLAH SWT untuk dapat menghidupkan jiwa satu orang, satu golongan atau bahkan satu umat, memiliki ke-khas-annya dalam menyampaikan dakwah, tidak harus melalui podium dan formalitas dalam pengajarannya.

Lalu bagaimanakah kontekstualitas kita yang masih merasa awam dalam hal ajaran agama dengan hadits di atas tadi (sampaikanlah walau hanya satu ayat?)

"Ballighu annii walau ayyah..!”. Masih ingat hadits “populer ini? Yup… artinya “sampaikan meski hanya satu ayat”. Sederhana, namun sarat akan makna. Tapi apa sih hakiki sebenarnya dari hadits ini?

Bila kita menelusuri lebih lanjut, akan kita ketahui bahwa hadits yang disampaikan Rasulullah Muhammad SAW tersebut mengandung dua definisi sebagai berikut:

1. Eksistensi

Hadits yang mengandung kata “baliighu” yang artinya “sampaikan” adalah sebuah bukti bahwa “tabligh” atau “menyampaikan” adalah salah satu sifat wajib seorang Rasul.

Dengan didukung dengan sifat wajib lainnya, “amanah”, maka Beliau menyampaikan hal ini kepada umatnya, kita semua, manusia. Eksistensi lain yang terkandung dalam hadits ini adalah “walau ayyah” yang artinya “meski hanya satu ayat”.

Maknanya bahwa untuk bisa menyampaikan (berdakwah), seorang manusia sekaliber Rasulullah SAW sekalipun tidak harus menunggu seluruh informasi dan data yang membuktikan bahwa “Islam itu unggul dan tidak (akan) ada yang (bisa) mengunggulinya” telah Beliau peroleh.

Ketika sebuah wahyu turun kepada Beliau, seketika itu pula Beliau sampaikan. Karena setiap wahyu yang diturunkan selalu berhubungan langsung dengan 'kondisi yang terjadi, kondisi masa lalu yang perlu diceritakan, atau kondisi masa depan' yang perlu disampaikan saat itu.

2. Instruksi

Sebuah konsekuensi logis bagi kita, umat manusia, ketika mengetahui ada sebuah hadits, yang merupakan salah satu wasiat dari Rasulullah SAW, maka harus menjalankannya.

Karena percaya atau tidak percaya, akhlak Rasulullah SAW adalah AL-Quran sehingga apa yang Beliau sampaikan pasti bersumber dari firman Allah SWT pula, entah yang diabadikan dalam Al-Quran maupun melalui hadits Qudsi.

Khusus hadits “sampaikan walau satu ayat” di dalamnya benar-benar ada makna instruksi bagi umat manusia, terutama “orang-orang (yang mengaku) beriman” untuk menindaklanjuti isi dari hadits tersebut. Apakah itu?

Jawabnya adalah kalimat dalam hadits tersebut. Kata pertama adalah “baliighu” atau “sampaikan”. Apabila diartikan secara simple kata “sampaikan” bermakna “sekedar” menginformasikan dan selanjutnya selesai.

Ternyata, menurut “asatidz (jama’ dari ustadz- para ustadz )” yang faham bahasa aslinya (arab), kata “sampaikan” dalam hadits tersebut bermakna lebih dalam, yakni “sampaikan sehingga dengan benar-benar sampai”.

Nah.., ternyata tidak gampang juga kan? Kalau hanya menyampaikan sih, tinggal ngomong atau nulis doang. Tapi “jaminan” bener-benar sampai itu yang perlu disiasati tekniknya.

Makanya, supaya tercapai tujuannya ya minimal perlu tiga unsur pendukung:

A. Communication skill (teknik berkomunikasi)

Seseorang yang ingin menyampaikan sesuatu hingga benar-benar sampai harus memiliki taktik yang jitu. Dalam dunia bisnis periklanan, misalnya. Berbagai teknik dan upaya dilakukan oleh tim kreatifnya agar tujuan dari pesan yang disampaikan benar-benar tercapai.

B. Consistency (terus menerus)

Sebongkah batu yang terkena tetesan air hujan terus menerus, semakin lama akan berlubang. Begitu pula hati manusia, jika secara terus menerus diberikan sebuah pemahaman, insya Allah akan berubah menuju apa yang ditargetkan, minimal akan ada perubahan dalam perilakunya, walaupun hanya tersembunyi dalam hatinya.

C. Qudwah (keteladanan)

Untuk memberikan sebuah pemahaman kepada seseorang, akan lebih mudah apabila kita sendiri telah melakukannya sehingga bisa menjadi sebuah bukti atas apa yang disampaikan dan tidak terjadi kemandekan dalam penyampaiannya, atau bahkan kotradiktif dengan perilaku sendiri.

Instruksi berikutnya adalah satu frasa terakhir dari hadits tersebut yaitu “walau ayyah” yang artinya “meski hanya satu ayat”. Sebuah perintah bagi umat manusia terutama bagi orang-orang beriman agar “menyampaikan” sekecil apapun yang dimiliki tentang pemahaman keislamannya.

Ada sebagian orang yang merasa baru pantas menyampaikan tentang pemahaman keislamannya ketika dia telah berbekal ilmu yang cukup. Namun bila kita telusuri, sampai ajal menjemput pun belum tentu pemahaman seorang manusia tentang keseluruhan ajaran Islam akan tercukupi. Kondisi ini mengakibatkan seorang muslim kehilangan kesempatan untuk menyampaikan apa yang telah dipahaminya.

Di sisi lain, ada sebagian orang yang begitu sembrono dalam menyampaikan ajaran islam yang sangat sedikit dipahaminya yakni dengan hanya menyampaikan sekilas kepada seseorang lalu meninggalkan orang tersebut begitu saja.

Sebagai jalan tengah dari kondisi tersebut, kalimat “sampaikan meski hanya satu ayat” adalah solusinya dengan melihat substansi dari kalimat tersebut adalah sesedikit apapun ilmu yang baru diperoleh, asal disertai dengan landasan yang kuat, segera sampaikanlah.

Tidak perlu menunggu sampai mencapai level “kesempurnaan” ilmu untuk menyampaikannya. Namun tidak pula menjadikan kita menyampaikan secara sewenang-wenang lalu meninggalkan begitu saja tanpa rasa tanggung jawab mengamalkannya terlebih dahulu.

Kesimpulannya, setiap muslim memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan ilmu yang dimilikinya kepada orang lain hingga benar-benar sampai. Caranya? Ada sebuah kemauan untuk “membina” dalam proses penyampaiannya.

Dengan demikian, secara substansi bisa tersampaikan dengan utuh, secara psikologis pun si penerima merasa nyaman, mengena di hati tanpa merasa di gurui atau di hakimi, wallahu a'lam..., jika ada kekurangan dan kesalahan, mohon di maklumi, terima kasih.

_ _ _ reference _ _ _
Back to posts
This post has no comments - be the first one!

UNDER MAINTENANCE