XtGem Forum catalog
APPS OPERA ISLAM ARTICLES AL-QUR'AN

Agama

Oleh: Zamzam AJT

Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmunya; dan barangsiapa yang ingin (selamat dan berbahagia) di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmunya pula; dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (HR Bukhari dan Muslim)

Kita semua telah melewati masa-masa menempuh pendidikan formal dari TK hingga kuliah, tentu masih ingat betapa seriusnya kita belajar terutama menjelang ujian kelulusan. Kalau mengerjakan kepentingan dunia saja kita begitu terencana dan serius maka wajar jika kita menyadari bahwa kehidupan di akhirat itu ada dan akan kita lalui maka persiapannya juga harus tidak kalah seriusnya.

Kita semua ingin masuk surga-NYA, ingin berdekatan dengan-Nya namun upaya serius apa yang telah kita dedikasikan? Amalan serius apa yang telah kita dawamkan? Dan pengorbanan besar apa yang telah kita persembahkan hingga layak menjadi hamba-Nya yang didekatkan?

Kajian ini berupaya untuk mengupas itu semua, karena hidup bukan sekadar berkarir dan menumpuk kekayaan yang semuanya bahkan tidak akan menemani kita di alam barzakh.

Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan, niscaya akan difahamkan tentang urusan agama (Ad-diin)" (Al Hadits)

Pertanyaannya, benarkah kita termasuk orang yang diberi kebaikan, karena kategori kebaikan yang Rasulullah SAW maksudkan disini bersifat universal dan bernilai jangka panjang. Karena rata-rata kalau kita membayangkan "Oh dia telah mendapatkan banyak kebaikan!" biasanya diasosiasikan dengan: rejeki banyak, anak baik-baik, rumah tangga harmonis, semua hal berbau "keluarga idaman". ( mungkin saja iya )

Namun pada kenyataannya kehidupan tidaklah "sesempurna kelihatannya", IA akan selalu punya cara untuk menguji sang insan. Maka kebaikan yang utama adalah kepahaman seseorang akan agamanya.

Pertanyaan berikutnya apa yang dimaksud paham akan agama? Apakah dengan menghafalkan Al Qur'an kita otomatis menjadi paham agama? Apakah dengan bermodal ikut pengajian rutin seminggu sekali kita merasa paham agama?

Atau mungkin yang lebih serius lagi dengan lulus pesantren dan mempelajari ilmu agama di universitas dan lulus dengan predikat cum laude maka otomatis seseorang dijamin paham dengan agamanya?

Pertama, mari kita sepakati untuk menggunakan istilah asli agama dengan istilah yang Al Quran yaitu Ad Diin. Karena ini mempunyai implikasi yang besar, kalau kita melihat rangkaian ayat Al Quran yang memiliki akar kata serupa dengan Ad Diin, maka kita bisa mulai melihat kontruksi yang jauh lebih besar dan megah dibandingkan pemahaman agama sebagai sesuatu yang bersifat ritual ( ibadah mahdhoh ).

Baiklah kita tengok sejenak sebuah peristiwa mengagumkan yang direkam dalam sebuah hadits tentang makna Ad-Diin ini.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Pada suatu hari Rasulullah Saw. tampak di tengah-tengah orang banyak lalu ada seorang laki-laki datang kepada beliau kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah! apakah iman itu?” Beliau menjawab, “Iman adalah hendaklah kau beriman kepada Allah, beriman kepada malaikat-Nya, beriman kepada kitab-Nya, beriman bahwa kamu akan bertemu dengan-Nya, beriman kepada para rasul-Nya, dan kau beriman dengan adanya hari kebangkitan di akhirat.”

Lelaki itu bertanya lagi, “Wahai Rasululah! Apakah Islam itu?” Beliau menjawab, “Hendaklah kamu menyembah Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan apapun, kau dirikan salat wajib, kau tunaikan zakat yang diwajibkan, dan kau lakukan puasa Ramadhan.”

Laki laki itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah! Apakah ihsan itu?” Beliau menjawab, “Hendaklah kamu menyembah Allah seolah olah kamu melihat-Nya, meskipun kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”

Laki-laki itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah! Kapankah hari kiamat itu?” Beliau menjawab, “Orang yang ditanya tentang itu tidak lebih tahu daripada penanya, tetapi akan saya beritahukan kepadamu tanda-tandanya. Apabila budak perempuan melahirkan majikannya maka itulah di antara tanda-tanda hari kiamat, apabila orang primitif dan tidak beralas kaki menjadi pemimpin manusia maka itulah di antara tanda-tanda kiamat, dan apabila para penggembala telah bermewahan dengan gedung-gedung yang megah maka itulah di antara tanda-tanda kiamat."

"Ada lima perkara yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.” Kemudian Rasulullah Saw. membaca ayat (yang artinya): "Sesungguhnya Allah memiliki pengetahuan tentang kiamat, Dia-lah yang menurunkan hujan, Dia mengetahui apa yang ada di dalam rahim, tidak ada seorangpun yang bisa mengetahui (secara pasti) apa yang akan dikerjakannya besok, dan tidak ada seorangpun yang bisa mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal" (Luqman: 34).

Kemudian laki-laki itu meninggalkan tempat/menyingkir, lalu Rasulullah Saw. bersabda, “Bawalah kembali laki-laki itu kepadaku!” Maka para sahabat pun berusaha membawanya kembali tetapi mereka tidak melihat apapun, maka Rasulullah Saw. bersabda, “Dia itu adalah Jibril yang datang mengajarkan Ad-Diin kepada manusia.” [Hadis ini juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari, nomor hadis: 50].

Bayangkan cara Allah Ta'ala yang demikian indah mengajarkan pokok-pokok Ad Diin kepada umat manusia melalui Rasulullah Saw yang disampaikan dengan perantara Jibril as.

Jika kita teliti satu persatu hadits di atas maka konstruksi Ad Diin terdiri dari tiga pilar utama yaitu : Iman - Islam - Ihsan.

Ilmu tentang iman ini diuraikan dalam ilmu tauhid. Imam Al-Ghazali menjabarkan definisi tauhid yaitu seseorang melihat segala sesuatu itu dari Dzat Yang membuat sebab-sebab, dan ia tidak menoleh kepada perantara-perantara namun ia melihat perantara-perantara itu ditundukkan.

Ilmu tentang Islam dan rukun-rukunnya dikupas tuntas dalam Ilmu Fiqih. Sedangkan ilmu tentang keihsanan, bagaimana me'rasa' Allah SWT dan mengaktifkan komponen indera dalam insan untuk bisa menangkap komunikasi dari Allah, itu semua dibahas tuntas dalam ilmu tasawuf.

Kembali ke hadits yang menjelaskan tentang Ad-Diin tersebut, maka kita mulailah bertanya dengan jujur kepada diri sendiri, sejauh mana pemahaman kita tentang Islam, sejauh mana pemaknaan kita tentang shalat yang setiap hari kita lakukan itu, sejauh mana penghayatan kita terhadap shaum yang susah payah kita lakukan.

Kemudian apakah kita sudah benar-benar beriman? Jangan-jangan klaim kita bagaikan orang Badui yang diabadikan dalam Al-Quran. “Orang-orang Arab Baduy itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah ( kepada mereka): "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: "Kami telah tunduk (aslamna)", karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu”. (QS. Al Hujurat: 14).

Lalu bagaimana memverifikasi bahwa kita benar-benar telah beriman? Lebih jauh dari itu apakah benar kita telah beriman kepada malaikat? Apa artinya beriman kepada malaikat? Apakah kita telah beriman kepada kitab-kitab? Selain Al Qur'an kitab apa lagi yang dimaksud?

Dan seterusnya...pertanyaan-pertanyaan itu sangat-sangat penting untuk kita temukan jawabannya melalui perjalanan diri yang sangat unik. Karena kalau kita tidak sempat mengerti di alam dunia yang sekejap mata ini, maka nasib kehidupan kita di alam barzakh apalagi akhirat akan terkatung-katung. Na'udzubillahimindzaliik.

Maka di titik ini, mari kita sama-sama menetapkan tekad untuk menyisakan ruang dan waktu dalam setiap harinya untuk bertafakur, mendalami pertanyaan-pertanyaan penting di atas, sekadar meninjau ulang arah hidup kita. Ini sangat luar biasa penting, jauh lebih penting dibanding sibuk mengerjakan semua amal yang tampaknya hebat dan banyak namun dengan ilmu yang sedikit.

Sufi dan wali besar Hasan al Bashri berkata, "Bertafakur sesaat lebih baik daripada berdiri semalaman mengerjakan shalat."

Dalam QS Ali Imran :191, Allah Ta'ala mengisyaratkan kekuatan bertafakur dan dzikir sebagai elemen yang penting agar seseorang bisa bersyukur dan berbahagia dalam kehidupan.

"( Yaitu ) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata, Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia..."

Penciptaan langit dan bumi selain bermakna bumi dan langit yang terbentangdengan indah di alam raya juga berbicara mengenai penciptaan jiwa (lelangit) dan raga (bumi).

Siapa diri kita, kenapa kita dilahirkan di tempat itu, mengapa dari pasangan orang tua yang itu, kenapa mendapat istri atau suami yang itu, apa kegemaran kita, apa bakat kita, apa ambisi kita, banyak hal dalam diri tidak hanya secara jasad namun juga potensi akal dan jiwa yang harus kita telaah satu persatu.

Kalau orang sudah baik dzikir dan tafakurnya maka salah satu cirinya hatinya (bukan sekadar di lisan) sudah bisa berkata "Benar ya Allah semua takdir yang terjadi, apapun kehidupan masa lalu hamba, apapun yang Engkau hadirkan kepada hamba hingga saat ini adalah sesuatu kebaikan dan tidak ada kesia-siaan di dalamnya."

Bersambung

- - -source- - -
Back to posts
This post has no comments - be the first one!

UNDER MAINTENANCE